JAKARTA, Ajang Liga Jakarta U-17 Piala Gubernur 2025 tidak hanya menjadi wadah kompetisi bagi para pemain muda ibu kota, tapi juga panggung seleksi bakat masa depan sepak bola DKI. Salah satu yang turut mengamati dengan seksama adalah Maman Suryaman, mantan pemain top Liga 1 yang kini menjabat sebagai talent scouting resmi untuk kompetisi ini. Berbekal lisensi kepelatihan A dan pengalaman panjang sebagai pemain, Maman menilai bahwa turnamen ini sangat krusial bagi pembentukan fondasi pemain profesional.
“Saya ditugaskan untuk mencari 33 nama, tapi akhirnya saya ambil 50. Kenapa? Karena dalam program jangka pendek nanti, bisa saja ada yang tidak hadir atau tidak fit. Kita harus antisipasi,” kata Maman saat ditemui usai menyaksikan salah satu pertandingan liga ini.
Menurut Maman, proses seleksi pemain dilakukan dengan metode observasi berulang dari pertandingan ke pertandingan. “Kami tidak hanya lihat momen satu pertandingan. Kami ukur grafiknya. Apakah dia konstan, naik, atau malah menurun. Yang penting konsistensi. Kalau grafiknya plus terus, itu yang masuk radar kita.”
Dalam seleksi yang ia lakukan, Maman menerapkan sistem evaluasi yang ketat. Pemain yang menunjukkan performa positif akan diberi “plus”, sementara yang stagnan atau menurun akan ditandai dengan “min”. Ia juga mempertimbangkan faktor waktu bermain. “Ada yang baru main di pertandingan keempat, itu juga kami catat. Tapi yang tidak tampil berulang kali, saya kosongkan saja. Itu jadi tanda tanya buat kami.”
Namun demikian, Maman tidak menampik bahwa perbedaan kualitas antartim cukup mencolok. Akademi-akademi besar seperti PSF,, Batavia dan Soccered mendominasi. “Mereka datang dengan modal latihan yang terstruktur dan kepelatihan yang matang. Wajar jika banyak pemain dari sana yang lolos. Tapi saya juga pastikan tetap ada perwakilan dari tim-tim pinggiran seperti Bekasi atau Tangerang. Ini soal keadilan juga. Kita perlu jaga motivasi mereka,” tegasnya.
Maman menyoroti bahwa bakat semata tidak cukup. Kombinasi antara bakat alamiah dan hasil pembinaan teknis jadi kunci. “Bakat itu modal. Tapi kalau tidak diasah lewat teknik, taktik, dan latihan, hasilnya tidak akan maksimal.”
Soal aspek mental, Maman mengakui bahwa mayoritas pemain masih berada pada fase pencarian jati diri. “Mental itu yang paling lemah. Banyak yang emosian, mudah tersulut. Ini usia kritis. Hormonnya masih tinggi, kadang kalau salah dikit bisa ribut di lapangan. Tapi saya maklumi, proses pembentukan karakter juga butuh jam terbang.”
Di sisi lain, Maman mengapresiasi format kompetisi yang berjalan cukup panjang ini. Ia melihat Liga Jakarta U-17 sebagai ajang yang sangat berguna, bukan hanya bagi pemain, tetapi juga bagi pelatih dan tim. “Ini bukan festival atau turnamen singkat. Ini kompetisi. Artinya, ada ruang untuk evaluasi teknis, peningkatan taktik, dan perencanaan tim yang lebih matang. Pelatih bisa belajar banyak. Pemain juga begitu.”
Maman yang pernah membela klub Galatama Warna Agung ini menegaskan, dari 50 nama yang ia seleksi, nantinya akan dikerucutkan menjadi sekitar 20–23 pemain yang tampil di laga puncak, Perang Bintang. “Di Perang Bintang, saya nilai lagi. Mungkin akan jadi dua tim utama. Siapa yang paling siap secara teknik, fisik, mental, dan taktik — itu yang akan masuk Tim Gubernur. Bisa saja nanti kita lawan PPOP atau tim elite U-17 lainnya.”
Sebagai talent scouting, Maman memilih untuk fokus pada tugasnya. Ia tidak mau terganggu dengan urusan teknis administrasi atau latar belakang wilayah pemain. “Tugas saya cuma satu: mencari pemain terbaik. Dari manapun asalnya, kalau layak, akan saya bawa.”
Dalam pandangannya, kompetisi seperti ini harus terus didukung. “Sepak bola Indonesia butuh panggung seperti ini. Pemain usia muda butuh ruang bermain yang berkelanjutan. Karena tidak ada prestasi tanpa jam terbang,” pungkas Maman.