Dari Bawah Tugu Pancoran, Gerakan Revolusi Sepakbola Itu Dimulai (Edisi 4-Habis)

Posted on

“Liga Jakarta U 17 Piala Gubernur DKI Jakarta 2025 merupakan satu-satunya kompetisi yang ideal di Tanah Air.” Kalimat yang dilontarkan Manajer sekaligus Pelatih Kepala Urakan FC, Faisal cukup menggelitik. Apalagi, dia menyebut PSSI dan Asprov PSSI DKI Jakarta saja tidak mampu menggelar kompetisi usia muda seperti Piala Jakarta U 17 yang didukung Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung.

Bagi Faisal, Liga Jakarta U 17 ini sebagai bentuk perlawanan atas matinya pembinaan sepakbola di Jakarta yang ditandai dengan absennya DKI JAkarta dalam sudah dua kali pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yakni PON Papua 2021 dan PON Aceh-Sumut. Selain itu, dia juga menyebut Liga Jakarta ini sebagai jembatan bagi Anak-anak Negeri untuk bisa meniti karier sebagai pemain sepakbola profesional dan mendapatkan tempat di Skuad Timnas Indonesia yang kini didominasi pemain naturalisasi.

“Saya yakin dari Liga Jakarta U 17 ini akan lahir pemain muda berkualitas. Ke depan, mereka bukan hanya bisa mendominasi di Liga 1 tetapi juga mampu menyaingi pemain naturalisasi yang selama ini menjadi andalan Timnas Indonesia. Dan, saya tidak pernah ragu akan kemampuan Anak-anak Negeri jika memang PSSI menjalankan pembinaan pemain muda melalui kompetisi berjanjang dan berkesinambungan di seluruh daerah,” kata Faisal.

Wajar memang jika Faisal merasa gerah dengan kinerja Plt Asprov PSSI DKI Jakarta Eko Setyawan yang tiga tahun menjabat tanpa ada kompetisi. Plus belum ada kepastian jadwal Kongres dengan agenda pemilihan ketua Asprov PSSI DKI Jakarta.

“Inilah kalau sepakbola dibawah ke ranah politik sehingga Kongres tidak digelar dan jabatan Plt terus diperpanjang. Siapa pun boleh jadi Ketua Asprov PSSI DKI Jakarta. Mau patung sekalipun kita terima asalkan dia menjamin kompetisi berjejang dan berkesinambungan bisa digelar. Karena, klub itu hanya kebutuhan utamanya ada kompetisi. Makanya, kami mendukung Liga Jakarta U 17 dan tidak melihat siapa pelaksananya,” tegas Faisal yang menyayangkan adanya pelarangan wasit memimpin Liga Jakarta U 17.

Apa yang disebut Faisal dibenarkan mantan Anggota Komite Etik FIFA, Dali Tahir. Bahkan, dia menyebut Liga Jakarta U 17 telah memberikan kesadaran kepada masyarakat sepakbola tentang pentingnya arti sebuah kompetisi usia muda dalam membangun prestasi Timnas Sepakbola Indonesia.

“Saya memberikan apresiasi kepada panitia Liga Jakarta U 17. Karena, mereka bukan hanya berani melawan arus tetapi mampu melahirkan sebuah gagasan yang bisa melahirkan pemain usia muda berkualitas sebagai pondasi membangun Timnas Indonesia. Bukan seperti PSSI pimpinan Erick Thohir yang sukses membangun “Istana Pasir” dengan lebih mengutamakan pemain naturalisasi dan mempersempit peluang anak-anak negeri menggunakan jersey berlambang Garuda,” jelas Dali Tahir.

“Liga Jakarta U 17 itu bukan hanya menjadi magnet tetapi boleh saya bilang trigger revolusi sepakbola Indonesia. Karena, PSSI selama ini dikuasai oleh orang-orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja tanpa memikirkan bagaimana membuat sebuat roadmap pembinaan sepakbola yang bisa mendorong prestasi Timnas Indonesia menuju kancah internasional,” tambahnya.

Sebaiknya, kata Dali, kompetisi seperti Liga Jakarta U 17 harus digelar di seluruh daerah sehingga keinginan membangun prestasi Timnas Sepakbola Indonesia bisa terwujud. Karena, dia menyebut PSSI tidak memiliki roadmap sepakbola Indonesia dan lebih memilih membangun prestasi Timnas secara instan dengan merekrut pemain naturalisasi.

“Saya menyebut gerakan revolusi sepakbola itu sudah dimulai dari bawah Tugu Pancoran tempat dimana Liga Jakarta U 17 digelar. Saatnya, daerah lain mengikuti Liga Jakarta U 17 yang dipelopori wartawan olahraga tersebut sehingga ke depan bisa lebih banyak anak-anak negeri menggunakan jersey Garuda. Tidak seperti sekarang jersey itu jadi milik pemain naturalisasi. Pemain itu bukan hanya mengandalkan skill tetapi harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi,” ungkapnya.

Citra Buruk

Bukan hanya dominasi pemain naturalisasi yang telah mengusur posisi Anak Negeri di Timnas Indonesia, tapi Dali juga menyoroti dominasi pelatih asing dan kebijakan PSSI yang memperbolehkan klub mengontrak 11 pemain asing di Liga 1. Bukannya Dali menolak keberadaan pelatih asing dan juga 11 pemain asing tersebut yang jelas mempersempit kesempatan pelatih dan pemain lokal mendapatkan tempat di klub-klub Liga 1. Namun, Dali hanya bisa mengingatkan PSSI tentang kondisi finansial klub-klub yang bermain di kasta kompetisi tertinggi itu masih belum mumpuni.

“Kondisi klub di Indonesia itu berbeda dengan klub-klub di Eropa yang secara finansial cukup kuat. Lantas bagaimana jika terulang kasus kontrak pemain asing tidak bisa dibayar seperti terjadi sebelumnya? Kalau ini terjadi maka citra sepakbola Indonesia akan buruk di mata internasional,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *