Rully Nere: Kopi Senja, Reuni Legenda, dan Harapan untuk Sepak Bola Indonesia dari Pinggir Lapangan Pancoran

Posted on

Di tengah riuh rendah puluhan anak usia sekolah yang berlatih sepak bola di Lapangan PSF Pancoran, Jakarta Selatan, sebuah reuni kecil namun hangat tercipta. Di sana, di antara aroma kopi dan tawa santai, duduk seorang legenda hidup sepak bola Indonesia, Rully Nere.

Pria asal Papua yang menjadi pilar Timnas Indonesia era 80-an itu tidak sendiri. Ditemani langit Jakarta yang mulai merona jingga saat sore beranjak menuju magrib itu, ia dikelilingi oleh wajah-wajah yang tak asing bagi pecinta sepak bola nasional. Ada Maman Suryaman dan Tyas Tono Taufik, dua rekannya sesama mantan punggawa timnas dan klub legendaris Pelita Jaya. Keduanya kini tengah sibuk dalam tugas baru sebagai pemandu bakat untuk kompetisi Liga Jakarta U-17 yang sedang bergulir di lapangan itu. Tak jauh dari mereka, tampak pula eks kiper tangguh timnas, Hermansyah, serta Yosef Erwiyantoro, wartawan senior yang menjadi penggagas sekaligus penanggung jawab kompetisi tersebut.

Pertemuan itu mengalir begitu saja, tanpa agenda resmi. Obrolan mereka melompat dari kenangan masa jaya di lapangan hijau hingga keprihatinan dan harapan baru bagi generasi penerus. Bagi Rully Nere, berada di tengah denyut pembinaan usia muda seperti ini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. “Saya senang sekali punya kesempatan berkunjung ke lapangan Pancoran dan melihat bagaimana Liga Jakarta U-17 ini digelar,” ujar Rully dengan sorot mata berbinar, memandangi puluhan anak-anak usia masuk belasan tahun mengeksplorasi kemampuan muda mereka.

Baginya, kompetisi ini bukan sekadar turnamen biasa. Format kompetisi penuh, di mana setiap tim memainkan 16 laga di putaran pertama dan 16 lagi di putaran kedua, adalah kawah candradimuka yang sesungguhnya. “Ini momen untuk menguji kemampuan, daya tahan, dan semangat para pemain muda ini secara total. Jadi yang memang sejati akan kelihatan kesejatiannya. Yang main-main atau ikut-ikutan juga akan kelihatan,” tegasnya.

Pandangannya kemudian menerawang, kembali ke masa remajanya di Papua. Ia bercerita, pengalamannya di usia 16-17 tahun sangat kontras dengan apa yang dilihatnya hari ini. “Saat itu saya di Papua, kompetisi sangat minim, paling hanya di tingkat kabupaten. Kesempatan bertanding hampir tidak ada, jadi lebih banyak latihan,” kenangnya. Kondisi itulah yang membulatkan tekadnya untuk merantau ke Pulau Jawa, sebuah keputusan yang terbukti mengubah jalan hidupnya dan mengantarkannya menjadi salah satu gelandang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Menurut Rully, Liga Jakarta U-17 adalah sebuah paket komplit yang seharusnya menjadi model nasional. Kompetisi ini tidak hanya menguji para pemain, tetapi juga para pelatih dan manajemen klub. “Hal itu juga berlaku dan tercermin kepada pelatih dan klub yang mengembangkan kepelatihannya, strateginya, bagaimana mereka kreatif menangani anak-anak muda ini. Karena mereka kan masih muda, emosinya masih up and down,” jelasnya.

Di tengah perbincangan, Rully juga menyuarakan pentingnya inisiatif pribadi dari para pemain muda. Ia sepakat dengan saran dari legenda lainnya, Anjas Asmara, agar para talenta muda mau belajar mandiri, salah satunya dengan menonton konten edukatif seperti dari Will Coerver Academy di YouTube. “Peningkatan skill itu harus. Jangan hanya pasrah pada latihan yang diberikan oleh klub, tapi masing-masing individu harus punya cara untuk meningkatkan skill-nya sendiri,” pesannya.

Bagi Rully, Maman, Tyas, dan Hermansyah, sore itu bukan sekadar ajang nostalgia. Ini adalah penegasan komitmen mereka yang tak pernah padam untuk sepak bola Indonesia. Mereka adalah bukti bahwa dedikasi seorang atlet tidak berhenti saat peluit panjang akhir karier ditiup. Pengalaman dan pengetahuan mereka kini ditransformasikan menjadi energi baru untuk membina generasi selanjutnya.

Yosef Erwiyantoro, sang inisiator liga, memandang pertemuan para legenda ini sebagai sebuah berkah. Kehadiran mereka menjadi suntikan motivasi luar biasa bagi para pemain muda yang sedang berkompetisi. Melihat langsung para pahlawan sepak bola nasional di pinggir lapangan adalah pelajaran yang tak ternilai harganya.

Saat adzan Magrib mulai berkumandang, Rully Nere menyimpulkan pandangannya dengan sebuah harapan besar. “Apa yang dilakukan oleh Liga U-17 ini adalah menjadi inspirasi dan juga menjadi acuan oleh wilayah-wilayah atau provinsi-provinsi lain. Karena di sini kita akan mendapatkan orang-orang yang memang teruji; pemain yang teruji, pelatih yang teruji, dan pengelola klub yang teruji,” pungkasnya.

Reuni senja di Pancoran itu pun berakhir, namun meninggalkan jejak harapan yang kuat. Dari secangkir kopi dan obrolan santai para legenda, terpancar sebuah keyakinan bahwa dari lapangan sederhana inilah, bibit-bibit unggul untuk masa depan Timnas Indonesia sedang ditanam, disiram, dan dipupuk dengan benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *