Di balik senyum kemenangan 6-0 Farama Academy atas UMS dalam lanjutan Liga Jakarta U-17 di Lapangan PSF Pancoran, terselip kisah menarik tentang perjalanan seorang pelatih muda bernama Hilman Akbar. Duduk di peringkat keempat klasemen sementara, Farama tidak hanya menorehkan hasil positif di papan skor, tetapi juga menampilkan proses pembinaan yang mencerminkan perpaduan antara teori akademis dan pengalaman lapangan.
Hilman termasuk generasi pelatih milenial. Ia mengasuh pemain-pemain Gen Z yang penuh energi, rasa ingin tahu, dan cepat beradaptasi dengan perubahan. Latar akademisnya—lulusan magister Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)—memberinya perspektif berbeda dalam dunia kepelatihan sepak bola usia muda.
“Saya percaya ilmu di bangku kuliah sangat membantu memahami kondisi dan pengalaman di lapangan. Tetapi teori saja tidak cukup. Pengalaman dan pembelajaran dari praktik nyata sama pentingnya,” ujar Hilman selepas laga.
Bersama asistennya, Indra Aditya, yang juga bergelar magister dari UNJ, Hilman mencoba menerapkan pendekatan berbasis penelitian dalam kepelatihan. Mulai dari pengaturan tempo latihan, recovery pasca pertandingan, hingga manajemen rotasi pemain di tengah jadwal padat. Mereka bahkan kerap merujuk pada jurnal ilmiah sebelum menyusun program latihan—sebuah praktik yang jarang ditemui di level sepak bola usia muda Indonesia.
Hilman menekankan bahwa lima komponen utama dalam sepak bola—teknik, taktik, fisik, mental, dan psikologi—tidak bisa dipisahkan. Semua saling terkait, dan harus dikelola dengan ilmu yang terus diperbarui. “Sepak bola itu berkembang setiap waktu. Kalau kita berhenti belajar, kita akan tertinggal,” tambahnya.
Keputusan Farama memaksimalkan kuota pemain di Liga Jakarta menjadi strategi cerdas. Dengan komposisi skuad yang dalam, Hilman bisa mengatur rotasi. Hasilnya terlihat ketika Farama menahan imbang PSF (peringkat 6) dengan menurunkan starter utama pada Rabu, lalu berhasil mengalahkan Batavia (peringkat 7) pada Sabtu dengan mayoritas pemain cadangan. Kemenangan itu bukan sekadar keberuntungan, melainkan buah dari perencanaan matang dan penerapan teori manajemen beban latihan.
Menariknya, jalur yang ditempuh Hilman, Indra, maupun Hikmanudin—pelatih UMS yang juga sesama alumni UNJ—berbeda jauh dari banyak pelatih lain di Liga Jakarta U-17. Sebagian besar pelatih tim lain adalah mantan pemain profesional, eks punggawa tim nasional, atau pelatih berlisensi hasil kursus-kursus asosiasi sepak bola. Mereka kaya pengalaman praktik, paham detail permainan dari sudut pandang pelaku, tetapi tidak banyak yang menempuh jalur akademik formal.
Di titik inilah terlihat perbedaan filosofi. Para pelatih senior lebih mengandalkan intuisi, pengalaman bertahun-tahun di lapangan, dan wawasan hasil karier bermain. Sementara Hilman dan rekan-rekannya membawa warna baru: pendekatan berbasis data, penelitian, serta disiplin ilmu kepelatihan olahraga yang mereka pelajari di kampus.
Namun, Hilman tidak menafikan nilai dari pengalaman para senior. Justru ia melihat bahwa dunia kepelatihan idealnya menggabungkan keduanya. “Kalau hanya teori, sulit menghadapi dinamika pertandingan. Tapi kalau hanya pengalaman, kita bisa terjebak pada cara lama. Perpaduan keduanya adalah kunci,” jelasnya.
Keberhasilan Farama di Liga Jakarta U-17 bukan hanya persoalan hasil akhir, tetapi juga proses pembinaan. Dengan cara ini, pemain muda terbiasa menghadapi kompetisi panjang tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik maupun mental. Pengetahuan akademis membantu pelatih seperti Hilman memahami detail mikro—mulai dari recovery, psikologi pemain remaja, hingga desain program latihan berbasis sains.
Liga Jakarta pun secara tidak langsung menjadi panggung pembuktian bahwa jalur akademik dapat bersaing dengan jalur konvensional. Farama, dengan skuad muda dan pelatih milenial, mampu menaklukkan tim-tim kuat semisal Batavia FC, Mutiara Gemilang, hingga Soccered. Kemenangan itu bukan semata hasil kerja keras di lapangan, tetapi juga representasi dari pendekatan kepelatihan yang adaptif, ilmiah, dan visioner.
Di tengah transformasi sepak bola Indonesia, kisah Hilman Akbar memberi secercah harapan. Bahwa generasi baru pelatih dengan basis akademis bisa berdiri sejajar dengan pelatih senior yang kaya pengalaman. Jika keduanya bisa saling melengkapi, bukan mustahil pembinaan sepak bola usia muda Indonesia akan lebih kokoh dan berkelanjutan.