JAKARTA – Liga yang kuat akan menghasilkan tim nasional yang kuat. Teori ini sudah acapkali diucapkan oleh para tokoh dan pengamat sepak bola. Namun, selama PSSI berdiri pada 1930, atau paling tidak sejak PSSI terdaftar sebagai anggota FIFA pada 1952, implementasinya tak pernah terwujud.
Manajemen liga sepak bola Indonesia masih semrawut. Berjalan tanpa fondasi yang kokoh. Hampir tidak pernah memprioritaskan pembinaan usia dini, meskipun ada, itu baru sekadar slogan tanpa disertai dengan mekanisme yang jelas. Sehingga wajar kalau hasil yang diperoleh tidak optimal.
Memang, sejak 1999, ketika era Agum Gumelar dan Pembina Usia Muda PSSI dijabat oleh Ronny Patinasarani, keberadaan SSB mulai menjamur. Sayangnya, ini tidak dikelola dengan baik.
Belum ada pengurus PSSI yang memiliki kompetensi mengurus pembinaan sepak bola usia dini. Alhasil, meski bertambah secara kuantitas, tetapi SSB belum maksimal secara kualitas.

Kurikulum Filosofi Sepak Bola Indonesia (Filanesia) yang dituangkan dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepak Bola Indonesia juga belum laik menjadi panduan.
Pelatih Timnas Indonesia U-17, Nova Arianto, sempat memberikan beberapa catatan yang perlu ditingkatkan dalam pembinaan usia dini, yakni komunikasi, movement, scanning, kualitas passing, kualitas kontrol, passing move, dan mental.
“Ini yang kami merasa kurang di tim nasional saat ini dari U-19 sampai senior. Untuk memperbaiki ini kita harus memulainya dari sepak bola usia dini karena sebelum mereka belajar taktik, ada baiknya mereka dibekali teknik dan skill individu yang baik,” tulis Nova di akun instagramnya.
Kesalahan Mendidik
Ada kesalahan dalam meletakkan fondasi awal pendidikan sepak bola usia dini. Rata-rata pelatih hanya berbekal lisensi D, yang pendidikan hanya ditempuh satu pekan atau total minimal 30 jam pembelajaran. Di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) saja, guru minimal wajib berijazah sarjana atau minimal diploma 4 karena memang anak usia dini memiliki karakteristik berbeda dengan anak usia menginjak remaja. Maka yang terjadi adalah para pelatih hanya mengajarkan, tetapi tidak mendidik.
Padahal, pendidikan sepak bola untuk usia dini bukan sekadar pengenalan teknik dan fisik, juga terkait dengan pengembangan intelegensi dan kepribadian. Itu sebabnya, bila ingin mencetak pemain cerdas, butuh pelatih yang juga memiliki kecerdasan dalam mengajar dan mendidik.
Misal dari materi passing. Selain mengajarkan cara passing sesuai teknik yang benar, pelatih juga bisa menyelipkan pendidikan karakter. Passing yang benar itu tidak membahayakan diri sendiri, tidak merepotkan teman yang menerima, tidak terpotong oleh lawan, tidak mempengaruhi tempo permainan, dan tidak individualis dan egois.
Tengok pembinaan sepak bola usia dini di International Football Academy Soccer Inter Action (SIA) di Valencia, Spanyol. Pada usia anak 5-6 tahun, pelatihan hanya sebatas bermain dengan mengombinasikan sesi shooting, ball handling, dan passing. Kegiatan dilakukan dengan cara sederhana dan mudah dimengerti. Anak-anak pada usia ini masih senang bermain. Sehingga, sebisa mungkin mereka harus senang menikmati permainan bersama dengan rekan setimnya.
Pelatihan kebugaran fisik baru dilakukan setelah anak berusia belasan tahun. SIA melakukan beberapa sesi latihan dengan sprint untuk meningkatkan kecepatan. Atau permainan yang mengutamakan refleks. Barulah, ketika beranjak remaja atau memasuki masa pubertas. Daya tahan tubuh, kekuatan, kecepatan, dan fleksibilitas.

Ada empat poin mendasar. Yang pertama adalah koordinasi. Ini adalah kemampuan melakukan beberapa gerakan secara berurutan dan efisien. Kedua keseimbangan, berarti kestabilan tindakan tubuh. Ketiga, kelincahan, kemampuan melakukan latihan dengan cepat dan terakhir. Terakhir, ritme, kemampuan melakukan gerakan yang teratur dan terus menerus sesuai dengan pola yang ditetapkan.
Seperti yang tertulis di laman resmi SIA, “Anak bisa menyukai atau membenci sepak bola tergantung bagaimana mereka berlatih. Sehingga, pelatih harus menjaga mood. Masa depan anak laki-laki atau perempuan dalam sepak bola tergantung pada seberapa baik kualitas mereka bekerja.”
PSSI harus memperbaharui kurikulum sepak bola nasional sesuai syarat dan kaidah proses lahirnya kurikulum. Sepak bola akar rumput adalah fondasi sepak bola Indonesia tetapi terus menjadi anak tiri.
Diabaikan oleh PSSI. Tidak ada kompetisi resmi PSSI atas nama SSB. Ada Piala Soeratin dan Elite Pro Academy, atas nama klub. Pemainnya tinggal nyomot dari SSB dan kompetisi swasta.
Butuh Nyali
Erick Thohir, usai menyerahkan dokumen pendaftaran resmi sebagai calon Ketua Umum PSSI pada 15 Januari 2023, menyatakan akan melakukan perubahan besar di tubuh PSSI bila terpilih. Dia memahami ada sejumlah permasalahan mendasar dalam sepak bola Indonesia hingga saat ini, antara lain pembinaan usia dini yang tidak berjalan baik
“Sudah banyak teori dan konsep dalam perbaikan sepak bola Indonesia. Sebenarnya yang harus kita lakukan adalah kita bernyali. Bernyali untuk sepak bola yang bersih dan juga sepak bola yang berprestasi. Ini yang terpenting,” kata Erick.

“Kita harus pastikan ke depan jangan ada tangan-tangan kotor di sepak bola Indonesia,” tambahnya.
Namun sejak terdaftar sebagai anggota FIFA, PSSI adalah milik voter. Pemerintah saja tidak bisa mengintervensi. Bila Erick menyebut punya nyali dan berani membersihkan tangan-tangan kotor di PSSI yang tradisinya sudah mengakar di PSSI, apakah Erick mampu menjinakkan para voter PSSI.
Bagaimanapun, yang pasti perbaikan kompetisi hingga pembinaan usia dini harus menjadi prioritas kalau Indonesia tidak ingin tertinggal dalam persaingan sepak bola di dunia.