Ketika wasit meniup peluit dan laga Liga Jakarta U-17 Piala Gubernur 2025 bergulir di atas rumput hijau, sebagian besar perhatian tertuju pada kecepatan pemain, strategi pelatih, atau hasil akhir pertandingan. Namun di balik sorak-sorai dan statistik pertandingan, ada satu tim yang bekerja nyaris tanpa suara: tim IT dan pengelola data kompetisi. Mereka adalah otak di balik akurasi statistik, grafik klasemen, serta rapi atau tidaknya wajah kompetisi ini di mata publik.
Meski pelaksana (panpel) telah membuka proses administrasi dan registrasi klub peserta sejak tiga bulan sebelum kompetisi dimulai, nyatanya badai masalah administratif terus berdatangan bahkan hingga pekan ke-11. Tim IT pun harus berjibaku menghadapi data yang sering kali tidak sinkron dan tak konsisten, mulai dari nama klub, nama pemain, hingga nomor punggung.
Contoh paling nyata adalah perdebatan panjang mengenai nama klub. Ada yang menyebut “ISA MB BADRIAWAN,” sebagian lagi menuliskan “ISA MB BANDRIAWAN.” Masalah tampak sepele, hanya satu huruf, tapi dalam sistem database, perbedaan satu karakter saja bisa menggandakan entri statistik yang semestinya hanya satu.
Contoh lain datang dari nama “Putera Betawi” versus “Putra Betawi.” Tak hanya panitia yang bingung, bahkan internal klub pun tak satu suara. Akibatnya, data statistik jadi tidak valid, dan visualisasi grafik pun tidak bisa ditampilkan secara otomatis di laman resmi kompetisi.
Nama pemain pun jadi perkara serius. Beberapa klub mengganti nama lengkap pemain, nomor punggung, hingga daftar starting line-up hanya beberapa saat sebelum kick-off. Manajer dan pelatih pun kerap berbeda data. “Tergantung siapa yang ada,” begitu salah satu alasan yang sering diterima panitia. Dalam kompetisi yang dirancang dua putaran dan berstandar semi profesional, hal ini menjadi tantangan serius.
Sebagai solusi sementara, panitia mewajibkan semua pemain memiliki ID Card resmi kompetisi, yang harus selalu dibawa saat bertanding. Ini penting bukan hanya untuk validasi, tetapi juga untuk menjaga konsistensi data yang menjadi pondasi evaluasi pembinaan.
Ketidakteraturan ini disebut sebagai warisan dari kebiasaan turnamen-turnamen jangka pendek yang selama ini mendominasi kultur kompetisi di Jakarta. Turnamen model seperti itu lebih menekankan hasil cepat tanpa proses pembinaan yang matang dan minim pencatatan data.
Namun di balik tumpukan pekerjaan dan tekanan waktu, ada harapan yang mulai menyala. Perubahan demi perubahan mulai terlihat. Klub mulai tertib menyusun Daftar Susunan Pemain (DSP). Keterlambatan kehadiran tim ke lapangan yang sebelumnya bisa mencapai 30 menit kini menurun drastis. Bahkan keterlambatan terlama hanya 15 menit, dan mayoritas klub kini datang lebih disiplin.
Lebih dari itu, persaingan bukan hanya terjadi di lapangan hijau. Beberapa klub bahkan sudah mulai melakukan evaluasi dan pergantian pelatih, sebuah langkah yang jarang terjadi di level junior. Ini menunjukkan bahwa kompetisi ini mulai dipandang serius.
Tak hanya itu, diam-diam para pencari bakat dan pengamat sepakbola mulai rutin hadir di pinggir lapangan. Mereka menyadari bahwa Liga Jakarta U-17 ini menyimpan potensi besar, dan bukan tak mungkin menjadi tambang emas bagi tim-tim elite nasional yang berburu talenta muda.
Penyelenggara pun menyediakan ruang untuk dinamika ini dengan membuka opsi pergantian dan pendaftaran pemain baru untuk putaran kedua, mirip sistem transfer antarputaran dalam liga profesional. Ini membuka peluang lebih luas bagi bibit baru yang sebelumnya belum mendapat tempat. Sekaligus memberi ruang bagi klub untuk berusaha mendapatkan hasil lebih baik di putaran dua mendatang.
Tim IT dan data di balik layar mungkin tak pernah tampil dalam pemberitaan, namun kerja mereka menjadi tulang punggung akurasi dan kredibilitas kompetisi. Di tengah serangan data tak sinkron, waktu yang sempit, dan tekanan dari banyak pihak, mereka tetap berdiri teguh memastikan bahwa Liga Jakarta U-17 bukan sekadar kompetisi dadakan, tapi cikal bakal sistem pembinaan pemain muda yang benar.
Jika pembinaan usia dini di Indonesia ingin benar-benar maju, maka profesionalisme seperti inilah yang seharusnya menjadi standar. Tidak hanya di atas lapangan, tetapi juga dalam setiap lembar data yang tercatat rapi, dari nama klub hingga nomor punggung pemain. Sebab dari situlah, bibit timnas masa depan dibentuk dengan cara yang benar.