Joko Dolok

Rudi “Gow” Gunawan: Pejuang Sepak Bola UMS yang Tak Pernah Lelah Membina di Tengah Krisis Lapangan dan Sistem

Posted on

JAKARTA, Di balik eksistensi klub legendaris UMS (Union Makes Strength) yang masih bertahan hingga kini dalam kompetisi usia muda seperti Liga Jakarta U17 Piala Gubernur 2025, terdapat sosok pelatih pekerja keras bernama Rudi “Gow” Gunawan. Mantan kiper Persija ini bukan sekadar pelatih kepala UMS U17, tetapi juga sekaligus menjadi motor penggerak pembinaan dan pengelolaan klub etnis Tionghoa tertua di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1905.

UMS adalah simbol ketekunan. Lahir di Petak Sinkian, Jalan Ubi 10 C, Mangga Besar, Tamansari, Jakarta Barat, klub ini telah mencetak puluhan pemain legendaris untuk Persija sejak era 30-an. Kini, di usia yang telah lebih dari satu abad, UMS tetap berdiri meski menghadapi berbagai tantangan, dari keterbatasan lapangan hingga tumpulnya sistem pembinaan nasional. Di sinilah peran Rudi menjadi penting dan tak tergantikan.

“Kita sudah nggak punya lapangan,” keluh Rudi saat ditemui seusai pertandingan. Latihan harus berpindah-pindah antara Taman Sari dan Lapangan Banteng, dan itu pun masih harus menyesuaikan dengan jadwal sekolah para pemain.

“Anak-anak kita ini sekolahnya sampai jam 3, latihan jam setengah 4. Sering nggak keburu. Ada juga yang harus kerja kelompok, tugas sekolah. Jadi pas latihan, nggak bisa full,” ujarnya.

Kondisi itu tentu menyulitkan proses latihan yang ideal. Namun, bagi Rudi, semua itu tidak mematahkan semangatnya. “Hari ini latihan bisa full semua. Baru kali ini. Kalau dari awal kita bisa lengkap seperti ini, saya sudah optimis dari pre-season,” katanya.

UMS tetap bertahan bukan karena infrastruktur, tapi karena semangat dan nama besar yang diwariskan para pendahulu. Rudi menyebut nama mendiang legenda sepak bola nasional Endang Witarsa sebagai inspirasi utama.

“UMS itu klub unik. Wilayah kita ini bukan pusat olahraga. Tapi UMS masih bisa bertahan. Itu karena nama besar dan warisan yang harus kita jaga,” kata Rudi.

UMS bukan klub yang instan. Dengan jumlah siswa mencapai 90 orang dari berbagai kelompok usia, pembinaan dilakukan dari U-8 hingga U-18. Ini yang membedakan UMS dengan klub-klub baru yang hanya ingin menang cepat tanpa membina.

“Banyak klub sekarang niatnya mau juara doang. Begitu kalah terus, bubar. Mereka nggak membina, cuma comot pemain dari mana-mana,” sindirnya.

Bukan hanya membina, Rudi juga tak ragu mengkritik sistem sepak bola usia muda di Indonesia, khususnya PSSI Jakarta. Baginya, struktur pembinaan yang semestinya menjadi tanggung jawab federasi kini justru dibebankan kepada pihak swasta.

“Kompetisi usia muda sekarang semuanya dijalankan swasta. Harusnya PSSI yang jalankan. Sekarang nggak jelas aturannya. Anak bisa main di dua klub. Dulu zaman saya, kalau pindah klub harus ada surat. Sekarang tinggal bayar aja,” keluhnya.

Akibatnya, banyak pemain berbakat dari kalangan ekonomi lemah justru terhambat. “Kita punya kiper bagus, tapi nggak mampu. Kita bantu, kita subsidi. Mereka nggak usah iuran. Tapi hukum di sepak bola kita sekarang nggak adil buat mereka,” imbuhnya.

Dalam kompetisi Liga Jakarta U17 saat ini, UMS tengah berjuang keras untuk naik peringkat. Mereka berada di posisi tiga terbawah, namun kemenangan terakhir membawa angin segar bagi tim asuhan Rudi.

“Kita harus menang, dan alhamdulillah hari ini bisa. Karena kalau lengkap, kita bisa compete. Kalahnya pun tipis-tipis. Kemarin lawan Parama kalah di menit akhir, lawan ISIMB juga kalah dari tendangan bebas terakhir,” kenangnya.

Rudi terus menanamkan mental bertanding ke anak-anak didiknya. “Makanya saya teriak terus dari pinggir lapangan. Supaya mereka naik, supaya nggak lengah. Karena kalau ditekan, kita bisa habis. Itu bola, bisa berubah dalam satu menit,” katanya sambil tertawa.

UMS saat ini bermain di Liga 4. Meski belum ada rencana naik ke Liga 3 karena keterbatasan dana, Rudi tetap menyimpan harapan. “Visi kita jelas. Anak-anak bisa naik level. Tapi semua butuh waktu dan dukungan. Sekarang fokus dulu pembinaan dan kompetisi usia muda,” katanya.

Rudi “Gow” Gunawan bukan sekadar pelatih. Ia adalah penjaga nilai, pembina karakter, dan pengkritik sistem yang tak adil. Di tengah keterbatasan dan birokrasi yang semrawut, ia dan UMS tetap berdiri dengan satu keyakinan: Sepak bola bukan hanya tentang menang, tapi tentang membina dan bertahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *