Teuku Chairul Wisal: Membina Sepak Bola dari Pinggiran Ragunan
JAKARTA, Di balik kiprah Sekolah Sepak Bola (SSB) Bintang Ragunan Jakarta dalam ajang Liga Jakarta U-17 Piala Gubernur 2025, berdiri sosok veteran lapangan hijau yang tak pernah surut semangat: Teuku Chairul Wisal. Namanya mungkin tak lagi sering terdengar di permukaan jagat sepak bola nasional, namun bagi generasi muda Jakarta, terutama mereka yang pernah mengolah bola bersamanya, Wisal adalah figur penting—seorang guru, pembina, sekaligus pelindung.
Wisal bukan nama baru dalam kancah sepak bola ibu kota. Ia adalah eks bek tangguh Persija Jakarta era Kompetisi Perserikatan 1982-1985. Kini, di usianya yang matang, ia mendedikasikan hidupnya untuk membina bakat-bakat muda di SSB Bintang Ragunan—klub yang lahir dari semangat komunitas dan semula berlatih di kawasan Ragunan, sebelum akhirnya terusir akibat pengalihan lahan untuk Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP).
“Dulu kita rutin latihan di Ragunan. Tapi sejak ada kebijakan zaman gubernur sebelumnya, lapangan itu dijadikan satu dan hanya untuk PPOP. Akhirnya kami terpaksa pindah-pindah. Sekarang latihannya di lapangan Kebagusan,” tutur Wisal ketika ditemui di sela pertandingan Liga Jakarta U-17 di lapangan PSF Pancoran.
Dari pinggir lapangan yang sama, Wisal curhat jika dirinya harus banting tulang menghidupkan SSB ini. Di tengah beragam keterbatasan, mulai dari infrastruktur, hingga komitmen pemain yang seringkali harus berbagi waktu dengan sekolah membuat lembaganya ikhlas disebut bukan kelompok sekolah elit. “Banyak yang mundur karena fokus ke sekolah. Kita nggak bisa tahan. Saya sebagai pembina di SSB, ya harus memahami itu,” ujarnya dengan nada tetap bersemangat.
Tantangan semakin berat saat jadwal Liga Jakarta U-17 bergeser dari Januari ke pertengahan tahun. “Anak-anak sudah saya wanti-wanti, kalau ikut Liga Jakarta, nggak boleh ikut liga lain. Tapi karena molor, delapan pemain inti kita malah keluar. Itu semua pemain utama,” jelasnya. “Padahal saat dua kali trial sebelumnya, kami bisa menang.”
Dengan skuad seadanya, Bintang Ragunan pun tertatih-tatih di kompetisi dan tertahan di papan bawah klasemen. Namun bagi Wisal, ini bukan semata tentang hasil. Karena yang dicari dan yang harus dirasakan pemain muda adalah pengalaman tanding dan mental tahan banting. Maka tidak heran dirinya secara tegas menyebut jika kompetisi jangka panjang adalah kuncinya.“Selama ini di Jakarta lebih banyak turnamen yang 4-5 pertandingan selesai. Tapi lewat liga panjang seperti ini, kita bisa bentuk mental pemain dan orang tuanya,” katanya. “Sepak bola itu bukan cuma soal menang, tapi bagaimana pemain bisa tetap fight saat kalah.”
Ia pun mengisahkan tentang kiprah salah satu kipernya yang meskipun timnya kebobolan banyak gol, tetap tampil penuh determinasi. “Talent scouting pasti lihat. Dia masih muda, tapi nggak putus asa. Reaksinya cepat, komunikasinya bagus. Ini tipe pemain yang dibentuk dari kompetisi jangka panjang.”
Wisal pun menyayangkan jika ada orang tua yang justru melemahkan semangat anaknya. “Ada yang bilang, ‘udah nggak usah main bola lagi, kalah terus’. Ini yang paling berat. Anak itu sedang berproses, dan proses itu yang justru harus dijaga,” katanya.
Sebagai alumni PON dan bagian dari skuad DKI di masa kejayaannya bersama nama-nama besar seperti Budi Tanoto, Wisal berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa lebih memperhatikan pembinaan sepak bola usia muda. “DKI udah lama nggak berprestasi di PON. Kalau gubernur kita sayang sepak bola, inilah saatnya. Kembalikan kejayaan itu dari pembinaan,” tandasnya.
Meski timnya belum menuai hasil maksimal di Liga Jakarta U-17, semangat Teuku Chairul Wisal tak surut. Sebab baginya, dari kompetisi seperti inilah masa depan sepak bola Jakarta akan lahir—bukan dari kemenangan sesaat, tapi dari mentalitas juara yang dibentuk sejak dini.