Antara Piala Pertiwi dan Liga Jakarta U17 (Sponsor Besar, Kompetisi Mini: Ironi di Balik Kemewahan)

Posted on

JAKARTA, Lapangan PSF Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (14/6/2025), menjadi saksi dua realitas berbeda. Di sisi utara, Piala Pertiwi U14/U16 Putri digelar megah dengan backdrop raksasa bertuliskan logo Djarum dan anak usahanya. Seragam tim peserta bersih baru, wasit berjas, dan drone kamera mengudara. Di sisi selatan yang hanya dipisahkan pagar besi, Liga Jakarta U17 Piala Gubernur berlangsung sederhana: tenda darurat, spanduk kain usang, dan segelintir penonton.

Djarum, melalui Piala Pertiwi, mengklaim komitmennya pada pembinaan sepakbola perempuan. Tapi benarkah ini tentang pembinaan—atau sekadar corporate branding yang dibungkus filantropi? Turnamen yang hanya diikuti 8 tim dengan durasi 3 hari itu lebih mirip festival ketimbang kompetisi serius. Bandingkan dengan Liga Jakarta U17 yang diikuti 18 tim dalam format liga panjang, meski tanpa sponsor utama.

“Kalau benar ingin membina, buatlah kompetisi berjenjang seperti Liga 1 Putri, bukan turnamen instan,” kritik Siska Dewi, mantan pemain timnas U19 Putri. Prestasi sepakbola putri Indonesia yang masih tertinggal (peringkat 80 FIFA) justru butuh ekosistem kompetitif, bukan sekadar event seremonial.

Ajang Piala Pertiwi 2025 Regional Jakarta dengan segala kehebohan tersebut telah melahirkan juara. Di kelompok usia 14 tim putri Cipta Cendikia keluar sebagai kampiun U-14 usai menaklukkan Putri Tangsel dengan skor 0-3 dan diikuti oleh Putri JP yang keluar sebagai pemenang di KU 16 usai menang 4-1 atas Putri Tangsel.

Djarum dan Paradoks Pembinaan: Bisnis vs Tanggung Jawab Sosial

Grup Djarum bukan pemain baru di dunia sponsorship olahraga. Melalui Djarum Foundation, mereka telah mendanai bulutangkis selama puluhan tahun dengan hasil gemilang. Tapi pendekatan yang sama tak terlihat di sepakbola. Terlihat bahwa pendekatan bisnis jauh lebih mengemuka.

Meski meriah, ada yang tetap harus dikritisi dari turnamen Piala Pertiwi ini. Pertama, durasi yang terlalu pendek(3 hari), sehingga mustahil mengevaluasi bakat pemain secara komprehensif. Jumlah kontestan yang minim dan itu tak mencerminkan kekuatan kompetisi regional. “Sponsor sebesar Djarum seharusnya bisa mendorong liga reguler, bukan hanya turnamen simbolik,” ujar seorang pengamat.
Ironisnya, Asprov PSSI DKI Jakarta yang seharusnya menjadi penyelenggara utama, justru absen menggelar kompetisi usia muda secara berkelanjutan.

Sementara Piala Pertiwi dipenuhi branding Djarum, Liga Jakarta U17 Piala Gubernur bertahan dengan dana seadanya. Kompetisi yang digagas komunitas lokal ini justru memenuhi kriteria pembinaan ideal. Karena format kompetisi yang digelar dalam jangka panjang (8 bulan dari April hingga November 2025, dengan total 18 tim peserta). Ini menciptakan jumlah pertandingan sangat tinggi (34 pertandingan per tim) serta adanya promosi dan degradasi sehingga melahirkan suasana kompetisi yang lebih sehat.

Ini kemudian memunculkan pertanyaan kritis. Mengapa Djarum tidak memprioritaskan kompetisi seperti ini? Apakah karena sepakbola putra dianggap kurang “marketable” untuk kampanye kesetaraan gender?

Fakta lebih menyedihkan, Liga Jakarta U17 diselenggarakan swasta, tanpa dukungan Asprov. Sementara Piala Pertiwi—meski digadang-gadang sebagai proyek pembinaan—hanya menjadi ajang pencitraan. Para pengurs mereka yang selama ini tak pernah menggelar kompetisi secara benar, tampil necis dan gagah di penutupan turnamen yang itu. “Asprov lebih sibuk mengurus administrasi daripada membangun kompetisi,” ujar seorang pelatih lagi.

Terakhir kali Asprov DKI menggelar liga junior adalah 2021. Sementara 70% klub akademi di Jakarta mengandalkan turnamen swasta untuk mengasah pemain. Saat ini Asprov, lebih suka duduk manis di belakang meja, atau datang di seremoni penyerahan piala dan mendaku telah bekerja untuk melalukan pembinaan. Ini pula yang dilakukan Plt Asprov DKI Eko Setyawan yang juga Exco PSSI. Dirinya hadir di acara penutupan turnamen itu. Sementara bagi Liga Jakarta 17, jangankan hadir dan memenuhi undangan untuk mendampingi Gubernur Pramono Anung membuka secara resmi kompetisi, rekomendasi kepada pelaksanana saja tidak kunjung tiba hingga hari ini.

Pembinaan Bukan Tentang Logo di Spanduk

Piala Pertiwi patut diapresiasi sebagai langkah awal, tapi jangan berhenti di sini. Pembinaan sepakbola muda butuh hal-hal seperti berikut: Kompetisi berkelanjutan, bukan turnamen singkat. Dukungan untuk semua gender — putra dan putri sama pentingnya.

Djarum punya sumber daya untuk mengubah segalanya. Pertanyaannya: Apakah mereka mau berinvestasi pada masa depan sepakbola Indonesia, atau sekadar mencari eksposur merek?.

Sementara di lapangan sebelah, tanpa spanduk megah dan drone, Liga Jakarta U17 terus berjalan. Di situlah jantung pembinaan sepakbola muda sebenarnya berdetak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *