Dari Lapangan Basah Pancoran, Ratu Tisha Dorong Asprov Dukung Liga Jakarta U-17

Posted on

Pagi yang lembut di Lapangan PSF Pancoran, Jakarta Selatan, seolah menyambut langkah santai Ratu Tisha Destria. Sepatu kets, jaket sporti, dan kacamata hitam menegaskan aura profesional khas perempuan yang kini menjabat Wakil Ketua Umum II PSSI itu. Ia datang bukan sebagai tamu kehormatan yang sekadar berpose di depan kamera, melainkan sebagai sosok yang ingin menyaksikan dari dekat denyut nadi pembinaan sepak bola muda di ibu kota.

Cuaca sejuk, rumput basah sisa hujan malam, dan riuh suara anak-anak muda yang berteriak dari pinggir lapangan menjadi latar momen kecil namun penting itu. Di tengah kesibukannya yang padat, Tisha menyempatkan diri menyambangi kompetisi Liga Jakarta U-17 Piala Gubernur DKI Jakarta 2025, ajang pembinaan yang belakangan banyak diperbincangkan karena lahir secara independen tanpa dukungan langsung dari Asprov PSSI DKI.

“Jam bermain yang cukup untuk pemain junior seperti yang disediakan Liga Jakarta ini sangat penting,” ujarnya membuka percakapan dengan nada penuh semangat. “Inilah jalur yang benar untuk membentuk kemampuan teknis sebelum mereka naik ke level yang lebih tinggi.”

Sebagai sosok dengan pengalaman panjang di bidang manajemen dan pengembangan sepak bola, Tisha paham betul bahwa inti dari pembinaan bukan hanya tentang bakat, melainkan juga tentang kesempatan. Liga Jakarta U-17, yang diikuti oleh 16 tim akademi dan sekolah, kini menjadi satu-satunya kompetisi berformat penuh di Jakarta setelah lebih dari 20 tahun vakum.

Bagi Tisha, kehadiran kompetisi semacam ini bukan sekadar kegiatan sporadis tahunan, melainkan cermin keseriusan masyarakat sepak bola akar rumput yang tidak ingin hanya menunggu uluran tangan dari struktur resmi PSSI. Ia pun menganggap bahwa Liga Jakarta adalah “pemasok alami” bagi sistem pembinaan nasional.

“Arah sepak bola junior itu ada dua,” jelasnya. “Langsung menuju profesional melalui Elite Pro Academy (EPA) dan Liga 2 atau 3, atau lewat jalur amatir. Liga Jakarta ini adalah penghubung di antara keduanya. Dari sini akan lahir pemain yang matang secara mental dan teknis sebelum mereka naik ke level nasional.”

Dirinya juga tahu, di balik setiap pemain muda yang berlari di lapangan, ada keluarga, pelatih, dan relawan yang bekerja tanpa pamrih. “Faktor keluarga itu penting,” katanya. “Mereka adalah guardian pertama dan terakhir dalam proses pembinaan pemain muda.”

Di sela obrolan singkat namun hangat dengan panitia—yang terdiri dari mantan pemain nasional, wasit senior, jurnalis olahraga, dan pelatih akademi—Tisha tampak menikmati atmosfer sederhana namun jujur dari kompetisi ini. Kehadirannya memang tidak lama, tapi pesannya tegas: kompetisi seperti ini harus didukung dan dilembagakan oleh Asprov PSSI DKI.

“Liga Jakarta memiliki posisi strategis,” tuturnya. “Klub-klub yang bernaung di bawah asosiasi kota dan provinsi yang semestinya menentukan kemana arah kompetisi ini dihadapkan.”

Tisha memang tak berlatar belakang pemain sepak bola, melainkan sosok yang datang dengan cara berpikir baru: sistematis, berbasis data, dan menempatkan ilmu pengetahuan di garis depan.

Di lapangan, pandangannya menelusuri gerak para pemain muda yang berjuang keras membuktikan diri. Ia tersenyum, mungkin teringat pada misinya sejak pertama kali bergabung dengan PSSI—membangun sepak bola Indonesia dari akar, dari generasi yang hari ini masih belajar mengatur napas di lapangan.

“Jangan menunggu diakui. Nanti, ketika hasilnya nyata, pengakuan itu akan datang sendiri.” Begitu pesannya kepada penyelenggara, sesaat akan meninggalkan area pertandingan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *